Tantangan pendidikan multikultur pada masyarakat pluralistik
Tantangan pendidikan multikultur pada masyarakat pluralistik
dari sudut pandang bangsa Indonesia
Conny Semiawan*
dari sudut pandang bangsa Indonesia
Conny Semiawan*
Pendahuluan
Semenjak kelahiranya, seorang anak merupakan individu dalam sebuah lingkungan sosial. Di lingkungan yang mengelilingi seorang anak yang baru lahir, banyak hal yang secara visual dapat diobsevasi, meskipun banyak hal pula yang tidak dapat dilihat. Paling tidak ada dua pendekatan yang sedang dikembangkan (Jersild,1976), dalam upaya untuk memahami seorang anak hingga dia menjadi orang yang dewasa. Kita dapat melakukan pendekatan kepada anak dengan cara mengobservasi ciri-ciri tujuan dari kerangka, kelakuan, dan perilakunya yang dapat diukur, akan tetapi juga dari sudut pandang pencapaian aspek subjektif dari pengalaman individu mereka sendiri. Apa kesadaran mereka tentang pengalaman mereka sendiri? Dan bagaimana mereka melakukan pendekatan dengan sekitarnya? Dunia macam apa yang dilihat dari sudut pandangnya?
Semenjak kelahiranya, seorang anak merupakan individu dalam sebuah lingkungan sosial. Di lingkungan yang mengelilingi seorang anak yang baru lahir, banyak hal yang secara visual dapat diobsevasi, meskipun banyak hal pula yang tidak dapat dilihat. Paling tidak ada dua pendekatan yang sedang dikembangkan (Jersild,1976), dalam upaya untuk memahami seorang anak hingga dia menjadi orang yang dewasa. Kita dapat melakukan pendekatan kepada anak dengan cara mengobservasi ciri-ciri tujuan dari kerangka, kelakuan, dan perilakunya yang dapat diukur, akan tetapi juga dari sudut pandang pencapaian aspek subjektif dari pengalaman individu mereka sendiri. Apa kesadaran mereka tentang pengalaman mereka sendiri? Dan bagaimana mereka melakukan pendekatan dengan sekitarnya? Dunia macam apa yang dilihat dari sudut pandangnya?
Sekarang ini, kedewasaan dan pembelajaran tidak lagi dilihat sebagai proses yang berbeda dan terpisah (Good dan Brophy, 1990). Penelitian genetika dapat menggambarkan fenotipe dari seseorang yang didasarkan pada interaksinya dengan lingkungan. Karena, interface (antar muka) suatu perkembangan, yakni keadaan yang paling merangsang untuk orang-orang pada setiap titik dalam perkembangan mereka, masih perlu dilakukan observasi (Pervin, dkk; 1999).
Eksplorasi dan emansipasi merupakan dinamika dasar dari manusia dimana mereka hidup. Anak yang kuat akan melakukan pendekatan dengan lingkungan guna menghadapi objek, keadaan dan manusia yang lain dalam upaya untuk mengalami dan mempelajari hal tersebut. Meskipun lingkungan mempunyai ciri tujuannya sendiri, ini terbuka untuk subjek yang sedang mengembangkan dan mendapatkan sebuah lingkungan yang terbuka. Dunia ini berbeda dengan dunia hewan yang diciptakan berdasarkan pada naluri mereka yang terbatas. Pengalaman manusia terlihat dari hubungan subjek-objek. Dunia tersebut tidak terbuka untuk sebuah tabularasa, karena manusia dengan lingkungannya merupakan sebuah interaksi yang ditandai dengan sebuah kecenderungan eksplorasi dan emansipasi dari manusianya. Hanya jika manusianya aktif dan kesalingan, dan hanya jika lingkungan meminta manusia untuk melakukan pendekatan kepada objek atau keadaan dan maknanya, maka kita dapat mengatakan bahwa manusia itu akan belajar (Semiawan, 2001). Seiring meningkatnya kekuatan, dia menjadi lebih tegas dan lebih percaya diri.
Dua lingkungan yang berbeda pada keberadaan psikologikal menggambarkan cerita dari sebuah perkembangan dari individu, yakni cerita tentang perjuangannya untuk menjadi seorang individu dalam haknya sendiri di sebuah lingkungan sosial. Meskipun terdapat kehidupan masyarakat yang melaluinya, dia bukanlah semacam ilalang yang membungkuk pada setiap angin sepoi yang datang karena dia memerdekakan dan menciptakan (Jersild, 1976). Dia tidak menyerap apapun pada arus sosial yang mengalir disekitarnya, karena ketika sedang memerikasakan, dia akan memilih dan muncul sebagai sebuah pribadi yang terpisah untuk menjadi seorang individu dapat, mengadaptasi dirinya sendiri dan mencoba untuk menghadapi tantangan dari kehidupan nyata pada sebuah lingkungan sosial.
Pada sebuah lingkungan yang pluralistik seperti dalam masyarakat Indonesia, dimana setiap anak harus mengadaptasikan bakatnya untuk beberapa kebudayaan yang sama baiknya dengan kebudayaan aslinya, pendekatan pembelajaran seharunya ditujukan pada catatan beberapa latar belakang dari sang anak. Pendidikan multikultural di negara ini belum dikembangkan dengan rancangan sistem pendidikan. Beberapa persoalan dan kendala, khususnya yang berkaitan dengan konteks sosial, kebudayaan dan politik akan diberikan untuk memahami alasan-alasan tersebut. Dengan meneliti sebuah pandangan dari kondisi tersebut, kajian ini akan mencoba membahas permasalahan dan menempatkan ulang sistem pendidikan, terbatas pada pendidikan dasar di Indonesia.
Hak Anak untuk Mendapatkan Pendidikan dan Dampak Globalisasi
Sejak kemerdekaan Indonesia, Konstitusi (UUD 45) menyatakan bahwa setiap anak mempunyai hak dalam bidang pendidikan. Pada Undang-undang Pendidikan kedua (1989), hal ini telah ditegaskan dan bahkan tanpa terkecuali setiap anak seharusnya mendapatkan sebuah perhatian khusus (Semiawan C, 2000). Sejumlah catatan pengecualian yang diberikan pada orang-orang yang cacat. Filosofi yang sangat dalam dari sistem legal ini memunculkan adanya perbedaan yang unik untuk setiap individu. Secara implisit hal ini berarti bahwa martabat, keanekaragaman dan perbedaan pada perilkau perlu untuk dipikirkan, dan setiap anak mempunyai kesempatan yang sama untuk mengembangkan dunianya secara penuh dan mengaktualisasi diri mereka secara kreatif. Meskipun pada dekade terakhir ini, filosofi ini belum selalu tergambarkan dalam kelas, karena suprasistem mensyaratkan keseragaman seperti yang ditunjukkan oleh kurikulum yang terpusat.
Jika filosofi ini telah diimplmentasikan, hal ini berarti setiap anak mempunyai kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan, yang tidak hanya berarti bahwa setiap anak belajar bersama secara klasikal dalam sebuah ruang kelas dimana lebih dari lima puluh anak dan seorang guru yang memberikan ceramah/pelajaran.
Mendapatkan sebuah kesempatan untuk belajar berarti terlibat dalam sebuah perkembangan dari pelaksanaan pembelajaran yang tepat sesuai dengan kebutuhan pendidikan mereka sendiri (Renzully, 1985), sehingga dia menjadi seorang individu yang sungguh mempunyai sebuah ketanggapan hidup pada sebuah masyarakat dengan perbedaan kebudayaan.
Slamet Imam santosa dalam “quo vadis pendidikan Indonesia” (Basis, 1998) mengungkapkan bahwa sistem tersebut lebih ditujukan karena adanya keinginan politik. Pendidikan nampaknya menjadi sebuah kendaraan untuk perubahan filosofi kesatuan, dan dalam banyak kasus dengan mengorbankan keragaman. Hal tersebut berarti sebuah penurunan pada tindakan pendidikan, karena dalam sistem ini perilaku yang konvergen diperlukan, dengan mengabaikan atau mengurangi kemungkinan untuk mengekspresikan dirnya sediri secara bebas dan sekreatif mungkin. Pada dasarnya, persoalan yang menyimpang dan asli, yang mengganggu keharmonisan, keseragaman dan stabilitas tertinggalkan. Pemikiran divergen, keaslian dan inovasi tidaklah tepat, sehingga terdapat status quo pada perkembangan sistemnya.
Prioritas sistem pendidikan yang dinyatakan dalam kurikulum hingga sekarang ini mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi, seringkali diinterpretasikan sebagai kajian ilmu pengetahuan dasar dan penerapan pengetahuannya untuk tujuan praktikal. Hal ini berarti bahwa pendidikan, dulu dan sekarang, masih menjadi sebuah alat untuk perkembangan ekonomi. Bagaimanapun, siswa haruslah menyesuaikan dirinya dengan keadaan semacam ini tanpa memandang perbedaan latar belakang mereka. Selain itu, tujuan dari pendidikan adalah bahwa manusia sebagai sebuah kesatuan holistik (Forum Rembug Nasional, 2000), bukan sekedar sebagai sebuah sumber pengembangan ekonomi.
Tuntutan sosial yang baru dan tantangan yang muncul sekarang ini semacam bahwa pendidikan dewasa ini meningkatkan langkah perkembangannya (Levinger, 1996), karena proses usia kita berarti globalisasi dan intenasionalisasi. Perubahan dalam bidang pendidikan dalam sebuah perubahan masyarakat di Indonesia bergerak dengan lamban karena ketatnya sistem terpusat untuk tuga dekade terakhir, di sisi yang lain proses globalisasi terus berjalan.
Globalisasi berarti munculnya sebuah sistem masyarakat yang ditentukan dengan proses independen esensi dan menghasilkan tantangan-tantangan baru untuk sistem pendidikan nasional. Meskipun sebuah permasalahan global merupakan persoalan yang dihubungkan dengan kemanusiaan pada sebuah cara yang cepat secara intensif dan ekstensif; kebanyakan dari masyarakat (Horvath, 1990) termasuk dengan masyarakat kita, sampai sekarang ini belum menunjukkan kelamahan yang cukup pada usaha keras secara internasional ini.
Tradisi, keagamaan dan kebudayaan haruslah saling terjalin dalam jaringan proses internal pendidikan dan arus goblasisasi agar supaya mencapai keadaan yang dibutuhkan yang seharusnya dipenuhi berdasarkan pada tujaun dari sistem pendidikan. Akan tetapi sebuah bagian dari kemungkinan untuk tidak diinformasikan, masyarakat kita tidak mempunyai kemampuan untuk berpikir dengan pandangan global dan adanya ketiadaan rasa sensifitas pada permasalahan global. Karena sekolah dipertimbangkan untuk menentukan sendiri standar global dan nasional mereka. Setelah itu, giliran bagi pasa siswa untuk dapat menyesuaikan diri mereka sendiri pada standar nasional yang berdasarkan pada kebudayaan tendensi yang sama baiknya dengan standar lokal mereka. Oleh karena itu, sudah dimulai sejak tingkat pendidikan dasar, harus ada sebuah persiapan guna masuk ke dalam internasionalisasi tanpa menghiraukan latar belakang kebudayaan lokal mereka sendiri.
Kebutuhan akan Gagasan Ulang Sistem Pendidikan pada Masyarakat Yang Beragam
Pandangan tentang pendidikan seharusnya diatur ulang, sehingga hal itu dapat dinyatakan sebagai sebuah agen perubahan. Hal ini meliputi bahwa sistem ini akan dapat mendukung dan menghasilkan nilai-nilai baru dalam masyarakat. Ketika diterapkan dalam pendidikan, hal ini berari bentuk dari kemampuan tindakan lokal dengan pandangan sebuah warga dunia, secara khusus untuk mereka yang bertanggung jawab untuk mempersiapkan generasi yang akan datang untuk memahami, menghadapi dan mengelola permasalahan global.
Salah satu dari kondisi utama dari kecenderungan ini adalah keberagaman dalam dunia pendidikan, karena semua individu mempelajari nilai-nilai, simbol dan komponen lain dari kebudayaan mereka, yakni dari sistem kemasyarakatan mereka yang membawa sebuah kebudayaan. Khususnya pada sebuah masyarakat yang beragam seperti Indonesia, sebuah bidang multipolar dari legitimasi pendidikan seharusnya diperbolehkan (Banks, A. dkk., 1997). Kekuatan pada pendidikan untuk generasi yang akan datang seharusnya dipisahkan dan dibagikan. Pada proses perubahan pada otonomi daerah, pendidikan multikultur seharusnya lebih dianjurkan. Setiap anak, yang menjadi seorang individu pada sebuah lingkungan masyarakat, merupakan sebuah bagian dari kelompok tertentu, sebuah kelas tertentu, sebuah keseluruhan nasional, sebuah ke-etnik-an, sebuah keagamaan tertentu, jenis kelamin atau kelompok yang lainnya. Dalam upaya untuk memahami apa yang anak telah alami, penting untuk memahami aspek subjektif dari pengalaman mereka sendiri. Seberapa jauh mereka mengidentifikasikan diri mereka sendiri dengan sebuah kelompok yang mana mereka tergabung? Bagaimana sosialisasi itu dapat berjalan? Dan apa yang lingkungan harapkan darinya?
Lignkungan sekolah keseluruhan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari sejumlah variabel utama yang dapat diteliti dan faktor-faktor, seperti sebuah budaya di sekolah, peraturan sekolah, kurikulum dan kegiatan pembelajaran yang disusun. Dari beberapa faktor ini mungkin terdapat perubahan sekolah tingkat awal, akan tetapi perubahan haruslah terjadi untuk setiapnya untuk menciptakan sebuah lingkungan sekolah multikultural yang efektif (Banks, dkk,; 1997). Setiap anak harus menyesuaikan diri mereka dengan lingkungan sekolah multikultural. Anak-anak berasal dari sebuah mikrokutural tertentu. Mereka berbagi pandangan tertentu tentang kelompok tersebut karena masyarakat berjalan dari hal tersebut. Seringkali hal tersebut merupakan bidang sensitif dan bidang independen. Hal ini juga berarti bahwa hal tersebut tidak secara intensif terlibat dalam proses pembelajaran. Kesempatan untuk belajar di sebuah sekolah keteka mereka jauh lebih baik dari apa yang telah dijabarkan di atas, adalah untuk mereka yang berasal dari kelompok yang lain, yang mempunyai perbedaan yang cukup spesifik. Tantangan untuk pendidikan multikultural adalah bagaimana untuk mempertahankan, dan bila memungkinkan meningkatkan keadilan untuk setiap kelompok yang khusus dikorbankan tanpa merampingkan kesempatan bagi yang lain.
Setiap kelompok mempunyai kebudayaannya sendiri, keyakinan yang dibagikan, gaya hidup, simbol, dan interpretasi yang ada dalam sebuah kelompok yang biasa disebut dengan mikrokultural. Seorang individu berada pada beberapa kelompok yang berbeda atau mikrokultural yang berbeda secara bersamaan. Meskipun secara umum, semua kelompo etnik yang berbeda berbagi kebudayaan inti, serangkaian nilai-nilai dan simbol-simbol yang dibagikan untuk beberapa kelompok oleh semua mikrokultur dan membentuk sebuah makrokultur, hal ini yang dimaksud dengan mayoritas (kebudayaan inti, Banks dan Banks, 1997).
Akan halnya dengan Indonesia, keadilan dan persamaan dalam bidang pendidikan merupakan beberapa tujuan dalam sistem pendidikan. Seperti yang telah dijelaskan di awal, pemikiran persamaan diekspresikan oleh bapak pembangunan negara ini dan yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa setiap anak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan. Sebagai konsekuensi untuk filosofi ini, pelaksanaan pembangunan yang tepat haruslah diterapkan.
Hal ini berarti bahwa kesempatan yang sama diberikan untuk setiap anak guna belajar di lembaga pendidikan. Sebuah tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk merubah pendekatan pengajaran dan pembelajaran laiknya dengan setiap perbedaan kelompok kebudayaan miliki kesempatan yang sama tersebut, tidak dikorbankan demi adanya kesamaan. Beberapa kelompok harus bergabung dalam kedamaian, mengenali adanya perbedaan akan tetapi menekankan sebuah tujuan umum untuk mencapai persatuan. Tujuan ini menunjukkan bahwa perubahan-perubahan utama tersebut seharusnya dibuat sejalan dengan program pendidikan yang dikonsepkan, dikelola dan diajarkan. Pendekatan pendidikan perlu untuk dirubah, karena pengajaran tidak hanya dipengaruhi dengan apa yang dilakukan oleh guru, namun dalam konteks yang mana pengajaran tersebut terjadi pada sebuah perubahan dalam masyarakat, dimana tekanan politik dan sosial menyelimuti sekolah.
Penelitian pada pengajaran akan merubah perhatian dari pencarian kebiasaan umum dari penerapan pengajaran yang efektif di ruang kelas, ke pada pemahan yang lebih baik tentang pengajaran, pengetahuan bahwa perubahanlah yang merupakan peraturan bukannya keseragaman (Hernandez, 2001). Jika di Indonesia dan ingin memulai misi baru sekolah, yakni pendidikan untuk semua, yang berarti bahwa sekolah harus mendapatkan populasi pelajar yang beragam, khususnya sekarang ini bahwa pendulum mengayun dari sebuah pendekatan terpusat pada guru ke pada pembelajaran aktif siswa. Pemikiran lainnya, perbedaan dan keaslian harus disertakan ke dalam ruang kelas. Hal ini berarti bahwa harus ada perubahan dalam sikap, tingkah laku, dan nilai-nilai.
Oleh karena itu, pengembangan sebuah perspektif multikultural membangun pengajaran dengan menggambarkan latar belakang kebudayaan pada anak didik, sehingga akan muncul kesempatan baru untuk kreatifitas, kemandirian dan inovasi. Informasi yang terkait dengan konteks sosial dan kultural harus menggambarkan pemikiran, perilaku, konteks dan situasi yang terhubungkan. Hal ini memunculkan adanya realitas ganda yang ada di dalam konteks sekolah dan masyarakat. Hal ini mengimplikasikan di antara yang lain bahwa siswa semenjak awal harus belajar untuk belajar bersama dan berkomunikasi sebaik berinteraksi dengan orang-orang dengan perbedaan latar belakang kebudayaannya.
Dalam hal ini, pendidikan multikultural merupakan sebuah proses melalui yang mana para individu mengembangkan rasa untuk merasakan, evaluasi dalam berperilaku dalam sistem cultural yang berbeda dari kebudayaan mereka sendiri (Gibson, 1984, dalam Hernandez, 2001). Tekanan yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi sekolahan, masyarakat dan faktor sekolah, yang mempengaruhi prioritas dan tujuan pendidikan, tingkat nasional dan lokal, disamping faktor sosial dan sekolah lain yang mempengaruhi apa dan bagaimana siswa belajar.
Karena Indonesia merupakan sebah negara yang filosofinya berdasarkan pada persamaan dalam perbedaan, ciri khusus dari apa yang siswa miliki, merujuk pada kelompok dimana mereka tergabung, seharusnya mempunyai sebuah kesempatan yang sama untuk memperoleh kesempatan kesuksesan sekolah. Pemikiran dari sebuah pendidikan multikultural adalah bahwa semua siswa, menghiraukan kebudayaan dan kelompok etnik yang berbeda seaharusnya mengalami persamaan pendidikan di sekolah. Tidak hanya penedekatan pengajaran, akan tetapi juga kurikulum seharusnya dirancang untuk menciptakan sebauh multikultural. Di samping itu, standar nasional harus dikembangkan, yang diekspresikan dalam kompetensi lintas kebudayaan yang terkait dengan kriteria tertentu.
Implikasi
Kurikulum Multikultural
Sebagaimana yang telah diketahui, meskipun Indonesia terdiri atas beberapa agama, etnik, kurikulum, kelompok mencoba untuk mempertahankan persatuannya. Semenjak tahun 1945, kurikulum nasional telah berupan kurikulum utama yang tersebar ke seluruh negeri di samping penggunaan kurikulum lokal.
Kurikulum utama, pusat mempunyai aspek negatifnya, karena hal ini menghindari siswa untuk mendapatkan keuntungan dari perspektif pemahaman dan kerangka referensi yang dapat diraih dari belajar dan pengalaman kebudayaan dan kelompok yang berbeda di sebuah negara. Untuk mengembangkan sebuah kurikulum multikultural termasuk pengetahuan akan keragaman dalam kebudayaan yang kebanyakan dari para pendidik memperolehnya dari buku-buku atau buku pentunjuk yang lainnya. Meskipun, para guru harus juga belajar untuk mempunyai pemahaman dan pengalaman yang mendalam, untuk menggabungkan konten etnik dan sudut pandangnya dalam sebuah kurikulum nasional. Beberapa dari kurikulum nasional harus sesuai dengan standar nasional. Konten multikultural yang mempunyai beberapa tingkatan integrasi juga harus dijadikan dalam laporan.
Paling tidak terdapat empat pendapatan (Hernandez, 2001) yang bisa bermanfaat untuk memenuhi tantangan yang telah disebutkan di atas. Terdapat pendekatan kontribusi, pendekatan tambahan, pendekatan perubahan dan pendekatan tindakan sosial. Ciri khas penting yang mana pendekatan-pendekatan ini mempunyai secara umum, adalah bahwa susunan dasar dan tujuannya tetap tidak berubah. Susunannya sama dengan kurikulum nasional, dan konten mikrokultur terbatas pada kejadian-kejadian tersebut, dua pendekatan ini hanya mempunyai perbedaan dalam pengayaan tambahannya, khususnya pada pendekatan yang terakhir, dirancang untuk menjadi sebuah fondasi dasar untuk semua siswa.
Meskipun para siswa tidak mendapatkan sebuah pandangan umum dari peranan dan kerangka pemikiran tentang kelompok etnik dan kelompok mikrokultural. Pada kedua pendekatan tersebut, konten ditambahkan pada kurikulum utama tanpa merubah asumsi dasar, keaslian, dan susunannya. Meskipun, pada pendekatan yang ketiga yang disebut sebagai pendekatan perubahan merubah asumsi dasar dan memungkinkan siswa untuk memberi pandangan konsep, persoalan, tema dan permasalahan dari perspektif mikrokultur. Pendekatan yang keempat, pendekatan tindakan sosial melibatkan semua elemen pada pendekatan perubahan, dan menambahkan komponen yang mensyaratkan siswa untuk membuat keputusan atas permasalahn sosial. Meskipun kebudayaan mikro membagi kebanyakan dari nilai-nilai utama kebudayaan makro, beberapa nilai utama nasional tersebut seringkali aneh pada kebudayaan mikro, dan begitu pula sebaliknya, beberapa nilai utama dari kebudayaan nasional mempunyai bentuk yang berbeda pada kebudayaan mikro.
Multiplek Unitas
Ketika individu merupakan makhluk sosial juga, dan norma kelompok mempunyai pengaruh yang kuat pada perilaku individu, pengetahuan tentang kelompok dan kebudayaan mikro memberikan pedoman yang pentin untuk mengobservasi dan menjelaskan tingkah laku individu. Oleh karena itu para guru seharusnya memahami tingkatan identifikasi siswa dalam sebuah kelompok dan kebudayaan mikro yang khusus dan keluasan yang mana sosialisasi telah terjadi di dalam kelompok tersebut.
Jika kita menginginkn untuk menjadi sebuah nasional yang demokratis, maka landasan pendidikan adalah perbedaan, keunggulan dan persatuan, menghubungkan konteks, proses dan koten dari pendidikan multikultural yang komplek, dinamis dan beraneka segi selagi mengenali realitas ganda dalam menciptakan sebuah lingkungan pembelajaran yang dinamis. Hal ini berdasarkan pada pemberian pengajaran yang efektif untuk belajar bersama dalam mencapai kesatuan dalam perbedaan. Meskipun setiap kelompok dalam sebuah sistem kebudayaan harus mempunyai kepribadiannya sendiri dan dikenali dengan berdasar pada identitas mereka sendiri. Stern menyebut seseorang sebagai sebuah “multipleks unitas”, yang berarti bahwa setiap individu merupakan sebuah potensi dari sebuah kesatuan (Stern, 1935). Setiap orang, sebagaimana individu mempunyai potensi bakat dan/atau kapasitas yang lebih dari satu (Semiawan, C, 1997), yang direfleksikan dengan arah dimana dia berjalan dalam hidup ini. Meskipun setiap orang harus menghadapi standar sistem yang diberikan kepadanya oleh sebuah sistem. Analogi dari fenomena ini, kita bisa mengatakan bahwa setiap mikrokultur mempunyai keragaman dan kualitas spesifik yang berbeda satu sama lainnya. Untuk sebuah tingkatan standar tertentu dari sistem untuk sebagai sebuah mekrokultur juga diberikan pada mikrokultur. Meskipun, seperti orang yang sedang mencoba untuk mencapai sebuah keseimbangan dalam menyesuaikan dirinya pada norma kelompok dan mengekspresikan keistimewaannya yang tersembunyi pada seseorang, setiap kebudayaan mikro mempunyai usia puncaknya dan pusat keistimewaannya, selagi mencoba untuk dapat diterima dan diapresiasi pada kelompok yang lebih besar (bahkan mungkin).
Kurikulum Berbasis Kompetensi
Di Indonesia, supra sistem pendidikan mengimplikasikan kurikulum berbasis kompetensi. Ini berarti bahwa keseluruhan komponen negeri ini tanpa menghindari kekhususan dan ganda, karena sebuah standar untuk setiap kompetensi harus diciptakan untuk mengembangkan sebuah kesatuan pada posisi yang berbeda untuk semua wilayah di negeri ini. Semua kompetensi pada sistem yang diasumsikan selalu dikaitkan dengan kriteria tertentu seharusnya dikembangkan berdasarkan pada standar tertentu.
Meskipun, menjadi sebuah lingkungan pendidikan multikultural berarti sebuah kombinasi pelaksanaan dalam menciptakan bentuk baru dari keikutsertaan demokratis di dalam ruang kelas, dimana standar pencapaian ganda perlu dikembangkan. Standar tersebut tersebar dari persyaratan minimal pada kompetensi yang akan dicapai oleh kelompok tertentu sehingga hampir semua standar ideal dan norma yang terkait dengan kriteria tertentu diekspresikan dalam kompetensi tertentu. Kompetensi tersebut harus dikembangkan pada empat pendekatan pengembangan kurikulum. Sebuah analisis menyeruluruh utama pada aktifitas ini seharusnya dilakukan untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan untuk setiap wilayah di negeri ini, untuk dapat mengajukan persyaratan minimal pendidikan dalam kurikulum lintas kebudayaan. Hal ini berarti bahwa dalam memilih pendekatan yang tepat dalam pengembangan kurikulum, kita harus mengidentifikasi pencapaian setiap kelompok (wilayag, kebudyaan mikro) dan perkembangan dengan cara yang telah dirancang. Dengan menentukan pencapaian pada sebauh populasi yang berbeda yang didasarkan pada beberapa kelompok kebudayaan, jenis kelamin, kelas sosial, pengecualian, etnik, pendidikan dan usia, pencarian persatuan pada sebuah masyarakat pluralistis menjadi semua tantangan untuk semua. Hal ini berarti bahwa perubahan kebudayaan dan ini seharusnya secara khusus terjadi pada sistem sekolah.
Dari Masyarakat Multikultural Kepada Komunitas Transkultural
Tantangan utama pada pendidikan dalam konteks multikultural adalah pengembangan ulang keyakinan dan perubahan pada institusi yang ditujukan untuk memenuhi tantangan pada abad baru yang memunculkan perubahan. Jenis baru dari pluralisme akan menghadapi pergerakan untuk membantu mempercepat kewaspadaan mengelola perbedaan dan menuju pada sebuah titik perubahan yang baru. Peningkatan pada sebuah populasi yang beragam dan kenaikan ketergantungan masyarakat global, pergeseran aspek sosio-ekonomi pada kehidupan, merupakan bagian dari sebuah tantangan dari sebuah proses yang sedang berjalan dengan keseimbangan hak dan tanggung jawab pada beberapa masyarakat multikultural (Awbrey, S dan D. Scoot, 2003). Pandangan tentang perbedaan-perbedaan ini muncul dari tangan satu ke tangan yang lain dengan keadaan perkembangan untuk mencapai identitas diri oleh setiap kebudayaan. Hanya jika semua mikrokultur telah mencapai sebuah keadaan kedewasaan martabat, hal tersebut akan diapresisi, dikenal dan diterima oleh kebudayaan yang memimpin dan diketahui oleh yang lain. Dan hanya jika dua langkah tersebut telah dialami, dan setiap kelompok mempunyai kesan yang kuat pada komunitas internal, kita akan berkembang dari masyarakat multikultural yang tersekat-sekat ke pada sebuah masyarakat lintas budaya (transkultural) dengan hubungan multi dimensi lintas batas kebudayaan (Awbrey, S dan D. Scoot, 2003). Secara beralasan, kedua langkah perkembangan yang dialami oleh masyarakat (Semiawan, 2003), seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, akan dikembangkan oleh sistem sekolah sehingga anak semenjak kecil belajar untuk menerima perbedaan tanpa menghilangkan identitas mereka sendiri.
*(Terjemahan dari teks bahasa Inggris yang diterjemahkan oleh Mochlisin: Mahasiswa Bahasa Inggris UNNES)
Eksplorasi dan emansipasi merupakan dinamika dasar dari manusia dimana mereka hidup. Anak yang kuat akan melakukan pendekatan dengan lingkungan guna menghadapi objek, keadaan dan manusia yang lain dalam upaya untuk mengalami dan mempelajari hal tersebut. Meskipun lingkungan mempunyai ciri tujuannya sendiri, ini terbuka untuk subjek yang sedang mengembangkan dan mendapatkan sebuah lingkungan yang terbuka. Dunia ini berbeda dengan dunia hewan yang diciptakan berdasarkan pada naluri mereka yang terbatas. Pengalaman manusia terlihat dari hubungan subjek-objek. Dunia tersebut tidak terbuka untuk sebuah tabularasa, karena manusia dengan lingkungannya merupakan sebuah interaksi yang ditandai dengan sebuah kecenderungan eksplorasi dan emansipasi dari manusianya. Hanya jika manusianya aktif dan kesalingan, dan hanya jika lingkungan meminta manusia untuk melakukan pendekatan kepada objek atau keadaan dan maknanya, maka kita dapat mengatakan bahwa manusia itu akan belajar (Semiawan, 2001). Seiring meningkatnya kekuatan, dia menjadi lebih tegas dan lebih percaya diri.
Dua lingkungan yang berbeda pada keberadaan psikologikal menggambarkan cerita dari sebuah perkembangan dari individu, yakni cerita tentang perjuangannya untuk menjadi seorang individu dalam haknya sendiri di sebuah lingkungan sosial. Meskipun terdapat kehidupan masyarakat yang melaluinya, dia bukanlah semacam ilalang yang membungkuk pada setiap angin sepoi yang datang karena dia memerdekakan dan menciptakan (Jersild, 1976). Dia tidak menyerap apapun pada arus sosial yang mengalir disekitarnya, karena ketika sedang memerikasakan, dia akan memilih dan muncul sebagai sebuah pribadi yang terpisah untuk menjadi seorang individu dapat, mengadaptasi dirinya sendiri dan mencoba untuk menghadapi tantangan dari kehidupan nyata pada sebuah lingkungan sosial.
Pada sebuah lingkungan yang pluralistik seperti dalam masyarakat Indonesia, dimana setiap anak harus mengadaptasikan bakatnya untuk beberapa kebudayaan yang sama baiknya dengan kebudayaan aslinya, pendekatan pembelajaran seharunya ditujukan pada catatan beberapa latar belakang dari sang anak. Pendidikan multikultural di negara ini belum dikembangkan dengan rancangan sistem pendidikan. Beberapa persoalan dan kendala, khususnya yang berkaitan dengan konteks sosial, kebudayaan dan politik akan diberikan untuk memahami alasan-alasan tersebut. Dengan meneliti sebuah pandangan dari kondisi tersebut, kajian ini akan mencoba membahas permasalahan dan menempatkan ulang sistem pendidikan, terbatas pada pendidikan dasar di Indonesia.
Hak Anak untuk Mendapatkan Pendidikan dan Dampak Globalisasi
Sejak kemerdekaan Indonesia, Konstitusi (UUD 45) menyatakan bahwa setiap anak mempunyai hak dalam bidang pendidikan. Pada Undang-undang Pendidikan kedua (1989), hal ini telah ditegaskan dan bahkan tanpa terkecuali setiap anak seharusnya mendapatkan sebuah perhatian khusus (Semiawan C, 2000). Sejumlah catatan pengecualian yang diberikan pada orang-orang yang cacat. Filosofi yang sangat dalam dari sistem legal ini memunculkan adanya perbedaan yang unik untuk setiap individu. Secara implisit hal ini berarti bahwa martabat, keanekaragaman dan perbedaan pada perilkau perlu untuk dipikirkan, dan setiap anak mempunyai kesempatan yang sama untuk mengembangkan dunianya secara penuh dan mengaktualisasi diri mereka secara kreatif. Meskipun pada dekade terakhir ini, filosofi ini belum selalu tergambarkan dalam kelas, karena suprasistem mensyaratkan keseragaman seperti yang ditunjukkan oleh kurikulum yang terpusat.
Jika filosofi ini telah diimplmentasikan, hal ini berarti setiap anak mempunyai kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan, yang tidak hanya berarti bahwa setiap anak belajar bersama secara klasikal dalam sebuah ruang kelas dimana lebih dari lima puluh anak dan seorang guru yang memberikan ceramah/pelajaran.
Mendapatkan sebuah kesempatan untuk belajar berarti terlibat dalam sebuah perkembangan dari pelaksanaan pembelajaran yang tepat sesuai dengan kebutuhan pendidikan mereka sendiri (Renzully, 1985), sehingga dia menjadi seorang individu yang sungguh mempunyai sebuah ketanggapan hidup pada sebuah masyarakat dengan perbedaan kebudayaan.
Slamet Imam santosa dalam “quo vadis pendidikan Indonesia” (Basis, 1998) mengungkapkan bahwa sistem tersebut lebih ditujukan karena adanya keinginan politik. Pendidikan nampaknya menjadi sebuah kendaraan untuk perubahan filosofi kesatuan, dan dalam banyak kasus dengan mengorbankan keragaman. Hal tersebut berarti sebuah penurunan pada tindakan pendidikan, karena dalam sistem ini perilaku yang konvergen diperlukan, dengan mengabaikan atau mengurangi kemungkinan untuk mengekspresikan dirnya sediri secara bebas dan sekreatif mungkin. Pada dasarnya, persoalan yang menyimpang dan asli, yang mengganggu keharmonisan, keseragaman dan stabilitas tertinggalkan. Pemikiran divergen, keaslian dan inovasi tidaklah tepat, sehingga terdapat status quo pada perkembangan sistemnya.
Prioritas sistem pendidikan yang dinyatakan dalam kurikulum hingga sekarang ini mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi, seringkali diinterpretasikan sebagai kajian ilmu pengetahuan dasar dan penerapan pengetahuannya untuk tujuan praktikal. Hal ini berarti bahwa pendidikan, dulu dan sekarang, masih menjadi sebuah alat untuk perkembangan ekonomi. Bagaimanapun, siswa haruslah menyesuaikan dirinya dengan keadaan semacam ini tanpa memandang perbedaan latar belakang mereka. Selain itu, tujuan dari pendidikan adalah bahwa manusia sebagai sebuah kesatuan holistik (Forum Rembug Nasional, 2000), bukan sekedar sebagai sebuah sumber pengembangan ekonomi.
Tuntutan sosial yang baru dan tantangan yang muncul sekarang ini semacam bahwa pendidikan dewasa ini meningkatkan langkah perkembangannya (Levinger, 1996), karena proses usia kita berarti globalisasi dan intenasionalisasi. Perubahan dalam bidang pendidikan dalam sebuah perubahan masyarakat di Indonesia bergerak dengan lamban karena ketatnya sistem terpusat untuk tuga dekade terakhir, di sisi yang lain proses globalisasi terus berjalan.
Globalisasi berarti munculnya sebuah sistem masyarakat yang ditentukan dengan proses independen esensi dan menghasilkan tantangan-tantangan baru untuk sistem pendidikan nasional. Meskipun sebuah permasalahan global merupakan persoalan yang dihubungkan dengan kemanusiaan pada sebuah cara yang cepat secara intensif dan ekstensif; kebanyakan dari masyarakat (Horvath, 1990) termasuk dengan masyarakat kita, sampai sekarang ini belum menunjukkan kelamahan yang cukup pada usaha keras secara internasional ini.
Tradisi, keagamaan dan kebudayaan haruslah saling terjalin dalam jaringan proses internal pendidikan dan arus goblasisasi agar supaya mencapai keadaan yang dibutuhkan yang seharusnya dipenuhi berdasarkan pada tujaun dari sistem pendidikan. Akan tetapi sebuah bagian dari kemungkinan untuk tidak diinformasikan, masyarakat kita tidak mempunyai kemampuan untuk berpikir dengan pandangan global dan adanya ketiadaan rasa sensifitas pada permasalahan global. Karena sekolah dipertimbangkan untuk menentukan sendiri standar global dan nasional mereka. Setelah itu, giliran bagi pasa siswa untuk dapat menyesuaikan diri mereka sendiri pada standar nasional yang berdasarkan pada kebudayaan tendensi yang sama baiknya dengan standar lokal mereka. Oleh karena itu, sudah dimulai sejak tingkat pendidikan dasar, harus ada sebuah persiapan guna masuk ke dalam internasionalisasi tanpa menghiraukan latar belakang kebudayaan lokal mereka sendiri.
Kebutuhan akan Gagasan Ulang Sistem Pendidikan pada Masyarakat Yang Beragam
Pandangan tentang pendidikan seharusnya diatur ulang, sehingga hal itu dapat dinyatakan sebagai sebuah agen perubahan. Hal ini meliputi bahwa sistem ini akan dapat mendukung dan menghasilkan nilai-nilai baru dalam masyarakat. Ketika diterapkan dalam pendidikan, hal ini berari bentuk dari kemampuan tindakan lokal dengan pandangan sebuah warga dunia, secara khusus untuk mereka yang bertanggung jawab untuk mempersiapkan generasi yang akan datang untuk memahami, menghadapi dan mengelola permasalahan global.
Salah satu dari kondisi utama dari kecenderungan ini adalah keberagaman dalam dunia pendidikan, karena semua individu mempelajari nilai-nilai, simbol dan komponen lain dari kebudayaan mereka, yakni dari sistem kemasyarakatan mereka yang membawa sebuah kebudayaan. Khususnya pada sebuah masyarakat yang beragam seperti Indonesia, sebuah bidang multipolar dari legitimasi pendidikan seharusnya diperbolehkan (Banks, A. dkk., 1997). Kekuatan pada pendidikan untuk generasi yang akan datang seharusnya dipisahkan dan dibagikan. Pada proses perubahan pada otonomi daerah, pendidikan multikultur seharusnya lebih dianjurkan. Setiap anak, yang menjadi seorang individu pada sebuah lingkungan masyarakat, merupakan sebuah bagian dari kelompok tertentu, sebuah kelas tertentu, sebuah keseluruhan nasional, sebuah ke-etnik-an, sebuah keagamaan tertentu, jenis kelamin atau kelompok yang lainnya. Dalam upaya untuk memahami apa yang anak telah alami, penting untuk memahami aspek subjektif dari pengalaman mereka sendiri. Seberapa jauh mereka mengidentifikasikan diri mereka sendiri dengan sebuah kelompok yang mana mereka tergabung? Bagaimana sosialisasi itu dapat berjalan? Dan apa yang lingkungan harapkan darinya?
Lignkungan sekolah keseluruhan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari sejumlah variabel utama yang dapat diteliti dan faktor-faktor, seperti sebuah budaya di sekolah, peraturan sekolah, kurikulum dan kegiatan pembelajaran yang disusun. Dari beberapa faktor ini mungkin terdapat perubahan sekolah tingkat awal, akan tetapi perubahan haruslah terjadi untuk setiapnya untuk menciptakan sebuah lingkungan sekolah multikultural yang efektif (Banks, dkk,; 1997). Setiap anak harus menyesuaikan diri mereka dengan lingkungan sekolah multikultural. Anak-anak berasal dari sebuah mikrokutural tertentu. Mereka berbagi pandangan tertentu tentang kelompok tersebut karena masyarakat berjalan dari hal tersebut. Seringkali hal tersebut merupakan bidang sensitif dan bidang independen. Hal ini juga berarti bahwa hal tersebut tidak secara intensif terlibat dalam proses pembelajaran. Kesempatan untuk belajar di sebuah sekolah keteka mereka jauh lebih baik dari apa yang telah dijabarkan di atas, adalah untuk mereka yang berasal dari kelompok yang lain, yang mempunyai perbedaan yang cukup spesifik. Tantangan untuk pendidikan multikultural adalah bagaimana untuk mempertahankan, dan bila memungkinkan meningkatkan keadilan untuk setiap kelompok yang khusus dikorbankan tanpa merampingkan kesempatan bagi yang lain.
Setiap kelompok mempunyai kebudayaannya sendiri, keyakinan yang dibagikan, gaya hidup, simbol, dan interpretasi yang ada dalam sebuah kelompok yang biasa disebut dengan mikrokultural. Seorang individu berada pada beberapa kelompok yang berbeda atau mikrokultural yang berbeda secara bersamaan. Meskipun secara umum, semua kelompo etnik yang berbeda berbagi kebudayaan inti, serangkaian nilai-nilai dan simbol-simbol yang dibagikan untuk beberapa kelompok oleh semua mikrokultur dan membentuk sebuah makrokultur, hal ini yang dimaksud dengan mayoritas (kebudayaan inti, Banks dan Banks, 1997).
Akan halnya dengan Indonesia, keadilan dan persamaan dalam bidang pendidikan merupakan beberapa tujuan dalam sistem pendidikan. Seperti yang telah dijelaskan di awal, pemikiran persamaan diekspresikan oleh bapak pembangunan negara ini dan yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa setiap anak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan. Sebagai konsekuensi untuk filosofi ini, pelaksanaan pembangunan yang tepat haruslah diterapkan.
Hal ini berarti bahwa kesempatan yang sama diberikan untuk setiap anak guna belajar di lembaga pendidikan. Sebuah tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk merubah pendekatan pengajaran dan pembelajaran laiknya dengan setiap perbedaan kelompok kebudayaan miliki kesempatan yang sama tersebut, tidak dikorbankan demi adanya kesamaan. Beberapa kelompok harus bergabung dalam kedamaian, mengenali adanya perbedaan akan tetapi menekankan sebuah tujuan umum untuk mencapai persatuan. Tujuan ini menunjukkan bahwa perubahan-perubahan utama tersebut seharusnya dibuat sejalan dengan program pendidikan yang dikonsepkan, dikelola dan diajarkan. Pendekatan pendidikan perlu untuk dirubah, karena pengajaran tidak hanya dipengaruhi dengan apa yang dilakukan oleh guru, namun dalam konteks yang mana pengajaran tersebut terjadi pada sebuah perubahan dalam masyarakat, dimana tekanan politik dan sosial menyelimuti sekolah.
Penelitian pada pengajaran akan merubah perhatian dari pencarian kebiasaan umum dari penerapan pengajaran yang efektif di ruang kelas, ke pada pemahan yang lebih baik tentang pengajaran, pengetahuan bahwa perubahanlah yang merupakan peraturan bukannya keseragaman (Hernandez, 2001). Jika di Indonesia dan ingin memulai misi baru sekolah, yakni pendidikan untuk semua, yang berarti bahwa sekolah harus mendapatkan populasi pelajar yang beragam, khususnya sekarang ini bahwa pendulum mengayun dari sebuah pendekatan terpusat pada guru ke pada pembelajaran aktif siswa. Pemikiran lainnya, perbedaan dan keaslian harus disertakan ke dalam ruang kelas. Hal ini berarti bahwa harus ada perubahan dalam sikap, tingkah laku, dan nilai-nilai.
Oleh karena itu, pengembangan sebuah perspektif multikultural membangun pengajaran dengan menggambarkan latar belakang kebudayaan pada anak didik, sehingga akan muncul kesempatan baru untuk kreatifitas, kemandirian dan inovasi. Informasi yang terkait dengan konteks sosial dan kultural harus menggambarkan pemikiran, perilaku, konteks dan situasi yang terhubungkan. Hal ini memunculkan adanya realitas ganda yang ada di dalam konteks sekolah dan masyarakat. Hal ini mengimplikasikan di antara yang lain bahwa siswa semenjak awal harus belajar untuk belajar bersama dan berkomunikasi sebaik berinteraksi dengan orang-orang dengan perbedaan latar belakang kebudayaannya.
Dalam hal ini, pendidikan multikultural merupakan sebuah proses melalui yang mana para individu mengembangkan rasa untuk merasakan, evaluasi dalam berperilaku dalam sistem cultural yang berbeda dari kebudayaan mereka sendiri (Gibson, 1984, dalam Hernandez, 2001). Tekanan yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi sekolahan, masyarakat dan faktor sekolah, yang mempengaruhi prioritas dan tujuan pendidikan, tingkat nasional dan lokal, disamping faktor sosial dan sekolah lain yang mempengaruhi apa dan bagaimana siswa belajar.
Karena Indonesia merupakan sebah negara yang filosofinya berdasarkan pada persamaan dalam perbedaan, ciri khusus dari apa yang siswa miliki, merujuk pada kelompok dimana mereka tergabung, seharusnya mempunyai sebuah kesempatan yang sama untuk memperoleh kesempatan kesuksesan sekolah. Pemikiran dari sebuah pendidikan multikultural adalah bahwa semua siswa, menghiraukan kebudayaan dan kelompok etnik yang berbeda seaharusnya mengalami persamaan pendidikan di sekolah. Tidak hanya penedekatan pengajaran, akan tetapi juga kurikulum seharusnya dirancang untuk menciptakan sebauh multikultural. Di samping itu, standar nasional harus dikembangkan, yang diekspresikan dalam kompetensi lintas kebudayaan yang terkait dengan kriteria tertentu.
Implikasi
Kurikulum Multikultural
Sebagaimana yang telah diketahui, meskipun Indonesia terdiri atas beberapa agama, etnik, kurikulum, kelompok mencoba untuk mempertahankan persatuannya. Semenjak tahun 1945, kurikulum nasional telah berupan kurikulum utama yang tersebar ke seluruh negeri di samping penggunaan kurikulum lokal.
Kurikulum utama, pusat mempunyai aspek negatifnya, karena hal ini menghindari siswa untuk mendapatkan keuntungan dari perspektif pemahaman dan kerangka referensi yang dapat diraih dari belajar dan pengalaman kebudayaan dan kelompok yang berbeda di sebuah negara. Untuk mengembangkan sebuah kurikulum multikultural termasuk pengetahuan akan keragaman dalam kebudayaan yang kebanyakan dari para pendidik memperolehnya dari buku-buku atau buku pentunjuk yang lainnya. Meskipun, para guru harus juga belajar untuk mempunyai pemahaman dan pengalaman yang mendalam, untuk menggabungkan konten etnik dan sudut pandangnya dalam sebuah kurikulum nasional. Beberapa dari kurikulum nasional harus sesuai dengan standar nasional. Konten multikultural yang mempunyai beberapa tingkatan integrasi juga harus dijadikan dalam laporan.
Paling tidak terdapat empat pendapatan (Hernandez, 2001) yang bisa bermanfaat untuk memenuhi tantangan yang telah disebutkan di atas. Terdapat pendekatan kontribusi, pendekatan tambahan, pendekatan perubahan dan pendekatan tindakan sosial. Ciri khas penting yang mana pendekatan-pendekatan ini mempunyai secara umum, adalah bahwa susunan dasar dan tujuannya tetap tidak berubah. Susunannya sama dengan kurikulum nasional, dan konten mikrokultur terbatas pada kejadian-kejadian tersebut, dua pendekatan ini hanya mempunyai perbedaan dalam pengayaan tambahannya, khususnya pada pendekatan yang terakhir, dirancang untuk menjadi sebuah fondasi dasar untuk semua siswa.
Meskipun para siswa tidak mendapatkan sebuah pandangan umum dari peranan dan kerangka pemikiran tentang kelompok etnik dan kelompok mikrokultural. Pada kedua pendekatan tersebut, konten ditambahkan pada kurikulum utama tanpa merubah asumsi dasar, keaslian, dan susunannya. Meskipun, pada pendekatan yang ketiga yang disebut sebagai pendekatan perubahan merubah asumsi dasar dan memungkinkan siswa untuk memberi pandangan konsep, persoalan, tema dan permasalahan dari perspektif mikrokultur. Pendekatan yang keempat, pendekatan tindakan sosial melibatkan semua elemen pada pendekatan perubahan, dan menambahkan komponen yang mensyaratkan siswa untuk membuat keputusan atas permasalahn sosial. Meskipun kebudayaan mikro membagi kebanyakan dari nilai-nilai utama kebudayaan makro, beberapa nilai utama nasional tersebut seringkali aneh pada kebudayaan mikro, dan begitu pula sebaliknya, beberapa nilai utama dari kebudayaan nasional mempunyai bentuk yang berbeda pada kebudayaan mikro.
Multiplek Unitas
Ketika individu merupakan makhluk sosial juga, dan norma kelompok mempunyai pengaruh yang kuat pada perilaku individu, pengetahuan tentang kelompok dan kebudayaan mikro memberikan pedoman yang pentin untuk mengobservasi dan menjelaskan tingkah laku individu. Oleh karena itu para guru seharusnya memahami tingkatan identifikasi siswa dalam sebuah kelompok dan kebudayaan mikro yang khusus dan keluasan yang mana sosialisasi telah terjadi di dalam kelompok tersebut.
Jika kita menginginkn untuk menjadi sebuah nasional yang demokratis, maka landasan pendidikan adalah perbedaan, keunggulan dan persatuan, menghubungkan konteks, proses dan koten dari pendidikan multikultural yang komplek, dinamis dan beraneka segi selagi mengenali realitas ganda dalam menciptakan sebuah lingkungan pembelajaran yang dinamis. Hal ini berdasarkan pada pemberian pengajaran yang efektif untuk belajar bersama dalam mencapai kesatuan dalam perbedaan. Meskipun setiap kelompok dalam sebuah sistem kebudayaan harus mempunyai kepribadiannya sendiri dan dikenali dengan berdasar pada identitas mereka sendiri. Stern menyebut seseorang sebagai sebuah “multipleks unitas”, yang berarti bahwa setiap individu merupakan sebuah potensi dari sebuah kesatuan (Stern, 1935). Setiap orang, sebagaimana individu mempunyai potensi bakat dan/atau kapasitas yang lebih dari satu (Semiawan, C, 1997), yang direfleksikan dengan arah dimana dia berjalan dalam hidup ini. Meskipun setiap orang harus menghadapi standar sistem yang diberikan kepadanya oleh sebuah sistem. Analogi dari fenomena ini, kita bisa mengatakan bahwa setiap mikrokultur mempunyai keragaman dan kualitas spesifik yang berbeda satu sama lainnya. Untuk sebuah tingkatan standar tertentu dari sistem untuk sebagai sebuah mekrokultur juga diberikan pada mikrokultur. Meskipun, seperti orang yang sedang mencoba untuk mencapai sebuah keseimbangan dalam menyesuaikan dirinya pada norma kelompok dan mengekspresikan keistimewaannya yang tersembunyi pada seseorang, setiap kebudayaan mikro mempunyai usia puncaknya dan pusat keistimewaannya, selagi mencoba untuk dapat diterima dan diapresiasi pada kelompok yang lebih besar (bahkan mungkin).
Kurikulum Berbasis Kompetensi
Di Indonesia, supra sistem pendidikan mengimplikasikan kurikulum berbasis kompetensi. Ini berarti bahwa keseluruhan komponen negeri ini tanpa menghindari kekhususan dan ganda, karena sebuah standar untuk setiap kompetensi harus diciptakan untuk mengembangkan sebuah kesatuan pada posisi yang berbeda untuk semua wilayah di negeri ini. Semua kompetensi pada sistem yang diasumsikan selalu dikaitkan dengan kriteria tertentu seharusnya dikembangkan berdasarkan pada standar tertentu.
Meskipun, menjadi sebuah lingkungan pendidikan multikultural berarti sebuah kombinasi pelaksanaan dalam menciptakan bentuk baru dari keikutsertaan demokratis di dalam ruang kelas, dimana standar pencapaian ganda perlu dikembangkan. Standar tersebut tersebar dari persyaratan minimal pada kompetensi yang akan dicapai oleh kelompok tertentu sehingga hampir semua standar ideal dan norma yang terkait dengan kriteria tertentu diekspresikan dalam kompetensi tertentu. Kompetensi tersebut harus dikembangkan pada empat pendekatan pengembangan kurikulum. Sebuah analisis menyeruluruh utama pada aktifitas ini seharusnya dilakukan untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan untuk setiap wilayah di negeri ini, untuk dapat mengajukan persyaratan minimal pendidikan dalam kurikulum lintas kebudayaan. Hal ini berarti bahwa dalam memilih pendekatan yang tepat dalam pengembangan kurikulum, kita harus mengidentifikasi pencapaian setiap kelompok (wilayag, kebudyaan mikro) dan perkembangan dengan cara yang telah dirancang. Dengan menentukan pencapaian pada sebauh populasi yang berbeda yang didasarkan pada beberapa kelompok kebudayaan, jenis kelamin, kelas sosial, pengecualian, etnik, pendidikan dan usia, pencarian persatuan pada sebuah masyarakat pluralistis menjadi semua tantangan untuk semua. Hal ini berarti bahwa perubahan kebudayaan dan ini seharusnya secara khusus terjadi pada sistem sekolah.
Dari Masyarakat Multikultural Kepada Komunitas Transkultural
Tantangan utama pada pendidikan dalam konteks multikultural adalah pengembangan ulang keyakinan dan perubahan pada institusi yang ditujukan untuk memenuhi tantangan pada abad baru yang memunculkan perubahan. Jenis baru dari pluralisme akan menghadapi pergerakan untuk membantu mempercepat kewaspadaan mengelola perbedaan dan menuju pada sebuah titik perubahan yang baru. Peningkatan pada sebuah populasi yang beragam dan kenaikan ketergantungan masyarakat global, pergeseran aspek sosio-ekonomi pada kehidupan, merupakan bagian dari sebuah tantangan dari sebuah proses yang sedang berjalan dengan keseimbangan hak dan tanggung jawab pada beberapa masyarakat multikultural (Awbrey, S dan D. Scoot, 2003). Pandangan tentang perbedaan-perbedaan ini muncul dari tangan satu ke tangan yang lain dengan keadaan perkembangan untuk mencapai identitas diri oleh setiap kebudayaan. Hanya jika semua mikrokultur telah mencapai sebuah keadaan kedewasaan martabat, hal tersebut akan diapresisi, dikenal dan diterima oleh kebudayaan yang memimpin dan diketahui oleh yang lain. Dan hanya jika dua langkah tersebut telah dialami, dan setiap kelompok mempunyai kesan yang kuat pada komunitas internal, kita akan berkembang dari masyarakat multikultural yang tersekat-sekat ke pada sebuah masyarakat lintas budaya (transkultural) dengan hubungan multi dimensi lintas batas kebudayaan (Awbrey, S dan D. Scoot, 2003). Secara beralasan, kedua langkah perkembangan yang dialami oleh masyarakat (Semiawan, 2003), seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, akan dikembangkan oleh sistem sekolah sehingga anak semenjak kecil belajar untuk menerima perbedaan tanpa menghilangkan identitas mereka sendiri.
*(Terjemahan dari teks bahasa Inggris yang diterjemahkan oleh Mochlisin: Mahasiswa Bahasa Inggris UNNES)