Sekolah Gratis? "Pungutan" Bikin Miris
Kiranya meskipun kita merupakan bangsa yang pelupa, namun masihlah fresh dalam ingatan kita semua ketika Presiden Indonesia menyampaikan pidato tahunan pada tahun 2008 di depan DPR bahwa anggaran nasional untuk pendidikan dialokasikan menjadi 20% dari APBN. Gegap gempitalah seluruh komponen rakyat ini menyambutnya sembari besar harapan mereka untuk menikmati pendidikan yang (harusnya) terjangkau oleh semua lapisan masyarakat Indonesia. Meskipun kala itu banyak yang mencibir pengalokasian seperlima APBN itu hanyalah strategi dari Ketua Dewan Pertimbangan partai penguasa (baca: Demokrat) menjelang Pemilu dan Pilpres 2009.
Setelah pengalokasian 20% APBN untuk pendidikan, kenapa di tahun ajaran 2010/2011 yang baru berjalan 2 minggu ini masih ada berita di media massa yang mengabarkan adanya anak yang gantung diri karena tidak diijinkan orang tuanya untuk sekolah lantaran ketiadaan dana. Rasanya pendidikan untuk semua kalangan belumlah sepenuhnya terbukti. Media massa masih menyuarakan terjadinya praktek “pungutan” dengan besaran yang bervariasi baik di sekolah negeri maupun swasta di semua daerah. Pungutan itu oleh ICW (Indonesian Corruption Watch) ditemukan dengan berbagai bahasa yang terkesan menjebak. Ada yang menyebut sebagai Uang Seragam, Uang Buku, Uang Bangku hingga yang tidak masuk di akal adanya Uang Pensiun Guru.
Kemudian, lebih parah lagi ketika hal ini (baca: pungutan) terjadi pada sekolah yang notabene mendapat embel-embel RSBI. Seperti yang terjadi di SMA 68 Jakarta yang telah mendapat embel-embel ini semenjak tahun 2005 telah mematok uang masuk pada siswanya sebesar Rp 9 juta dan untuk tiga kelas yang sudah termasuk kelas Internasional dipatok seharga Rp. 35 Juta. Di Semarang, ada salah satu orang tua siswa baru yang mengaku harus merelakan untuk menyerahkan uang sebesar Rp. 5 Juta agar putra dapat masuk ke SMP pilihannya. Di beberapa daerah yang bisa dibilang jauh dari perkotaan, contohnya di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, pungutan uang masuk dipatok dari Rp. 500 ribu hingga Rp. 1,5 juta; meskipun ada dalih mereka tidak memaksa orang tua murid untuk membayarnya bahkan ada beberapa sekolah yang meng-gratis-kan.
Sungguh miris mengetahui itu semua masih terjadi di dunia pendidikan kita. Kiranya pendidikan murah bahkan gratis hanyalah masih menjadi sebuah bahan kampanye menjelang Pilpres dan/atau Pemilukada demi memikat hati para konstituen mereka untuk berduyun-duyun memberikan suara untuk mereka. Terlihat jelas dari penjelasan yang diberikan oleh Kepala Dinas Pendidikan Jawa Tengah bahwa semua kebijakan (baca: yang tidak bijak) merupakan hasil kesepakatan dari Komite Sekolah dengan orang tua siswa. Pernyataan itu tak seluruhnya benar, karena beberapa fakta menampir pernyataan tersebut dimana banyak ditemukan para orang tua siswa baru yang mendapatkan surat pemberitahuan mengenai besaran “pungutan” yang harus dibayarkan sebelum mereka diundang untuk berdialog dengan Komite Sekolah.
Lebih miris lagi ketika mengetahui bahwa Kemendiknas sendiri seolah lepas tangan dan masa bodoh melihat semua itu di depan mata. Meskipun di beberapa daerah telah dibentuk tempat pengaduan berkenaan dengan “pungutan” tersebut, pada akhirnya ini akan menjadi dokumen formalitas karena tidak dapat diproses oleh pusat dengan alasan mereka tidak punya hak untuk mengintervensi kebijakan yang telah dijalankan oleh daerah. Tetapi secara akal sehat, apakah mereka kekurangan daya kreatifitas untuk mencegah kesewenang-wenangan oknum sekolah untuk menetapkan besaran Iuran Peserta Didik Baru (IPDB) atas nama uang bangunan yang pada dasarnya itu sudah tercakup dalam DAK (Dana Alokasi Khusus). Mungkin kita masih harus menunggu entah sampai kapan lagi untuk dapat benar-benar merasakan pendidikan murah berkualitas, lima, sepuluh, dua puluh tahun lagi atau tidak akan pernah ada sejarahnya di negeri kita ini.
Kita semua—dengan asumsi bahwa saya dan temen-temen yang membaca notes ini—mungkin pernah mengalami hal seperti itu meskipun kita tidak menyadarinya karena pada saat itu yang ada dalam pikiran kita hanyalah bisa bersekolah tanpa mengetahui kondisi financial orang tua kita. Saya contohkan diri saya sendiri; ketika awal masuk ke jenjang sekolah menengah atas—saya tidak akan menyebutkan nama sekolahnya—di pertengahan tahun 2002, sesaat setelah pengumuman diterimanya di sekolah tersebut saat itu pula kami menerima surat edaran berbagai macam keperluan—ada yang bersifat paksaan dan ada yang sukarela—dengan nominal rupiah yang tidak bisa dibilang sedikit. Ada uang seragam batik, seragam olahraga, badge, topi dan lain sebagainya. Setiap pergantian tahun, sekolah “meminta” kita untuk membeli kalender sekolah meskipun di rumah sudah banyak terpampang calendar gratis dengan berbagai macam pose artis. Ada pula sejumlah uang “study tour” yang tidak sedikit yang mana setiap siswa satu angkatan harus mengikuti semuanya. Guru tidak mau ambil pusing dengan hanya menggunakan beberapa buku LKS tiap semesternya yang pada akhirnya menjadi bagian yang akan membuat kepala orang tua kami pusing. Dan masih ada beberapa “pungutan” lainnya yang tidak dapat saya sebutkan karena saya sudah pusing untuk mengingat itu semua.
Tetapi apa yang saya sebutkan di atas masihlah dapat dianggap “wajar” ketika saya sangat terperangah mendapati “pungutan” yang terjadi sekarang-sekarang ini khususnya di sekolah-sekolah yang ada di Kota Semarang. Miris dan ingin menangis rasanya hati ini melihat masa depan mereka menemui jurang dalam dan tebing terjal, apalagi mendapati mereka-mereka yang sangat terpaksa sekali harus meninggalkan bangku sekolah karena ketiadaan biaya. Ingin sekali rasanya untuk mengutuk pemerintah yang selalu “gembar-gembor” sekolah gratis dan semua kepala sekolah yang mencari “proyek” dengan membebankan pada orang tua siswa.
Di akhir tulisan ini, saya sampaikan bahwa ini bukan untuk mengintimidasi dan/atau menyudutkan satu pihak pun karena tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetuk semua pihak yang berwenang dalam semua pembiayaan pendidikan untuk tidak hanya memikirkan keberlangsungan sekolah tapi bagaimana upaya pemerataan pendidikan untuk semua kalangan masyarakat. Subsidi silang dapat dilakukan untuk setidaknya memberi peluang kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.
.:terima kasih:.
Sources:
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=56998
http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/07/15/brk,20100715-263771,id.html
http://www.antaranews.com/berita/1275701796/sekolah-negeri-tak-boleh-pungut-uang-pembangunan
http://memobisnis.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2010/07/14/brk,20100714-263468,id.html
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=21034
Setelah pengalokasian 20% APBN untuk pendidikan, kenapa di tahun ajaran 2010/2011 yang baru berjalan 2 minggu ini masih ada berita di media massa yang mengabarkan adanya anak yang gantung diri karena tidak diijinkan orang tuanya untuk sekolah lantaran ketiadaan dana. Rasanya pendidikan untuk semua kalangan belumlah sepenuhnya terbukti. Media massa masih menyuarakan terjadinya praktek “pungutan” dengan besaran yang bervariasi baik di sekolah negeri maupun swasta di semua daerah. Pungutan itu oleh ICW (Indonesian Corruption Watch) ditemukan dengan berbagai bahasa yang terkesan menjebak. Ada yang menyebut sebagai Uang Seragam, Uang Buku, Uang Bangku hingga yang tidak masuk di akal adanya Uang Pensiun Guru.
Kemudian, lebih parah lagi ketika hal ini (baca: pungutan) terjadi pada sekolah yang notabene mendapat embel-embel RSBI. Seperti yang terjadi di SMA 68 Jakarta yang telah mendapat embel-embel ini semenjak tahun 2005 telah mematok uang masuk pada siswanya sebesar Rp 9 juta dan untuk tiga kelas yang sudah termasuk kelas Internasional dipatok seharga Rp. 35 Juta. Di Semarang, ada salah satu orang tua siswa baru yang mengaku harus merelakan untuk menyerahkan uang sebesar Rp. 5 Juta agar putra dapat masuk ke SMP pilihannya. Di beberapa daerah yang bisa dibilang jauh dari perkotaan, contohnya di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, pungutan uang masuk dipatok dari Rp. 500 ribu hingga Rp. 1,5 juta; meskipun ada dalih mereka tidak memaksa orang tua murid untuk membayarnya bahkan ada beberapa sekolah yang meng-gratis-kan.
Sungguh miris mengetahui itu semua masih terjadi di dunia pendidikan kita. Kiranya pendidikan murah bahkan gratis hanyalah masih menjadi sebuah bahan kampanye menjelang Pilpres dan/atau Pemilukada demi memikat hati para konstituen mereka untuk berduyun-duyun memberikan suara untuk mereka. Terlihat jelas dari penjelasan yang diberikan oleh Kepala Dinas Pendidikan Jawa Tengah bahwa semua kebijakan (baca: yang tidak bijak) merupakan hasil kesepakatan dari Komite Sekolah dengan orang tua siswa. Pernyataan itu tak seluruhnya benar, karena beberapa fakta menampir pernyataan tersebut dimana banyak ditemukan para orang tua siswa baru yang mendapatkan surat pemberitahuan mengenai besaran “pungutan” yang harus dibayarkan sebelum mereka diundang untuk berdialog dengan Komite Sekolah.
Lebih miris lagi ketika mengetahui bahwa Kemendiknas sendiri seolah lepas tangan dan masa bodoh melihat semua itu di depan mata. Meskipun di beberapa daerah telah dibentuk tempat pengaduan berkenaan dengan “pungutan” tersebut, pada akhirnya ini akan menjadi dokumen formalitas karena tidak dapat diproses oleh pusat dengan alasan mereka tidak punya hak untuk mengintervensi kebijakan yang telah dijalankan oleh daerah. Tetapi secara akal sehat, apakah mereka kekurangan daya kreatifitas untuk mencegah kesewenang-wenangan oknum sekolah untuk menetapkan besaran Iuran Peserta Didik Baru (IPDB) atas nama uang bangunan yang pada dasarnya itu sudah tercakup dalam DAK (Dana Alokasi Khusus). Mungkin kita masih harus menunggu entah sampai kapan lagi untuk dapat benar-benar merasakan pendidikan murah berkualitas, lima, sepuluh, dua puluh tahun lagi atau tidak akan pernah ada sejarahnya di negeri kita ini.
Kita semua—dengan asumsi bahwa saya dan temen-temen yang membaca notes ini—mungkin pernah mengalami hal seperti itu meskipun kita tidak menyadarinya karena pada saat itu yang ada dalam pikiran kita hanyalah bisa bersekolah tanpa mengetahui kondisi financial orang tua kita. Saya contohkan diri saya sendiri; ketika awal masuk ke jenjang sekolah menengah atas—saya tidak akan menyebutkan nama sekolahnya—di pertengahan tahun 2002, sesaat setelah pengumuman diterimanya di sekolah tersebut saat itu pula kami menerima surat edaran berbagai macam keperluan—ada yang bersifat paksaan dan ada yang sukarela—dengan nominal rupiah yang tidak bisa dibilang sedikit. Ada uang seragam batik, seragam olahraga, badge, topi dan lain sebagainya. Setiap pergantian tahun, sekolah “meminta” kita untuk membeli kalender sekolah meskipun di rumah sudah banyak terpampang calendar gratis dengan berbagai macam pose artis. Ada pula sejumlah uang “study tour” yang tidak sedikit yang mana setiap siswa satu angkatan harus mengikuti semuanya. Guru tidak mau ambil pusing dengan hanya menggunakan beberapa buku LKS tiap semesternya yang pada akhirnya menjadi bagian yang akan membuat kepala orang tua kami pusing. Dan masih ada beberapa “pungutan” lainnya yang tidak dapat saya sebutkan karena saya sudah pusing untuk mengingat itu semua.
Tetapi apa yang saya sebutkan di atas masihlah dapat dianggap “wajar” ketika saya sangat terperangah mendapati “pungutan” yang terjadi sekarang-sekarang ini khususnya di sekolah-sekolah yang ada di Kota Semarang. Miris dan ingin menangis rasanya hati ini melihat masa depan mereka menemui jurang dalam dan tebing terjal, apalagi mendapati mereka-mereka yang sangat terpaksa sekali harus meninggalkan bangku sekolah karena ketiadaan biaya. Ingin sekali rasanya untuk mengutuk pemerintah yang selalu “gembar-gembor” sekolah gratis dan semua kepala sekolah yang mencari “proyek” dengan membebankan pada orang tua siswa.
Di akhir tulisan ini, saya sampaikan bahwa ini bukan untuk mengintimidasi dan/atau menyudutkan satu pihak pun karena tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetuk semua pihak yang berwenang dalam semua pembiayaan pendidikan untuk tidak hanya memikirkan keberlangsungan sekolah tapi bagaimana upaya pemerataan pendidikan untuk semua kalangan masyarakat. Subsidi silang dapat dilakukan untuk setidaknya memberi peluang kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.
.:terima kasih:.
Sources:
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=56998
http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/07/15/brk,20100715-263771,id.html
http://www.antaranews.com/berita/1275701796/sekolah-negeri-tak-boleh-pungut-uang-pembangunan
http://memobisnis.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2010/07/14/brk,20100714-263468,id.html
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=21034