Closing Remarks : Melangkah ke Hal yang Tidak Biasa
(Kamanto Sunarto, Russell Hiang-Khng Heng, Achmad Fedyani Saifuddin)
Kenyataan perbedaan dalam kebudayaan dan politik di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, merupakan hal pokok meski seringkali berupa persoalan yang saling berseberangan pada sebagian banyak essai dalam buku ini. Pada satu sisi, perbedaan merupakan sebuah konsep yang dihargai dengan tinggi dalam multikulturalisme hal ini berangkat dari sisi faktual konsep ini yakni multikultur. Kata ini mendapatkan imbuhan “isme”, menurut Bikhu Parekh (1997) imbuhan ini membuat sebuah doktrin atau ideologi. Akan tetapi pada sisi yang lain, perbedaan secara implisit dapat menimbulkan kemungkinan negatif dari konflik dan kekerasan karena sifat pluralistik dan kepentingannya. Selanjutnya C.W. Watson (2000:107) mengatakan bahwa multikulturalisme tidaklah sesederhana bentuk kata benda dari kata multikultur. Ini menuntut perhatian kita keluar dari aspek-aspek perbedaan yang dapat dilihat dengan jelas, ke implikasi filosokal dan politikal yang lebih dalam dari kebersamaan dengan orientasi yang berbeda dalam peperangan dengan dunia, dan cara yang mana perbedaan-perbedaan tersebut mendesak pengakuan akan batas-batas nasional dan global, seringkali pada hubungan harmonis dengan keluarga yang lain, bahkan dalam kehidupan nyata sekalipun.
Cara lain dalam memandang penggunaan kedua istilah tersebut tidaklah terfokus pada wilayah semantiknya akan tetapi pada catatan bagaimana “multikultural” dapat dihubungkan ke dalam sebuah perspektif yang terdapat orang-orang pada titik pusatnya. Kita seharusnya memberi catatan pada hal ini bahwa istilah “kosmopilitan” yang sudah direvitalisasi seperti yang telah dijelaskan oleh Ulf Hannerz (1990) secara berarti menggantikannya, dimana kata “multikulturalisme” memaksa kita untuk berpikir melalui dimensi perbedaan sosial dan kolektif. Dikhotomi ini mempunyai sebuah keterkaitan yang spesial untuk pembahasan yang mensirkulasikan demokrasi liberal Barat yang mana pemerintahan dimulai dari dalil-dalil yang tujuan masing-masing negara bagian harus membatasi halangan untuk tindakan seseorang sekecil mungkin, tujuan akhir dari pembangunan manusia harus merupakan maksimalisasi dari potensi masing-masing orang. Dalam hal ini hukum, susunan dan institusi dari masing-masing negara bagian seharusnya dirancang semata-mata untuk meningkatkan kesempatan kemerdekaan individu (Kymlicka, 1995). Meskipun, kebanyakan dari negara Asia Tenggara tidak dalam keadaan seperti yang ada di tradisi Barat. Setiap negara mempunyai sejarahnya sendiri, kultur sosio, kultur tradisi, dan kultur politik.
Meskipun semua kontribusi dalam buku ini semua setuju bahwa konsep multikulturalisme berasal dari pemikiran orang Barat, mereka semua mencoba untuk mendapatkan pemahaman yang cukup mengenai konsep ini. Mereka menyadari bahwa konsep ini cenderung baru akan tetapi menguntungka ketika membuat sebuah pencapaian yang signifikan bahwa perbedaan kebudayaan merupakan ciri-ciri pad semua negara sehingga multikultur dan multikulturalisme merupakan konsep yang relevan dengan kebutuhan mereka. Sama halnya ketika berjalan dalam kegelapan, mereka telah mencoba untuk melangkah ke konsep dan wacana yang tidak biasa, apakah konsep tersebut dapat diterapkan di negara mereka ataukah tidak, atau haruskan ini dimodifikasi atau disesuaikan sedemikian rupa sehingga membuat konsep dan wacana ini sesuai dengan kondisi spesifik masing-masing negara. Bagaimanapun, multikultutalisme merupakan kecenderungan yang baru yang mereka semua setuju untuk secara sungguh menerapkan demi negara mereka. Ketika modifikasi dan penyesuaian merupakan proses yang logis melalui yang mana multikulturalisme secara bertahap diakui relavansi dan kepentingannya, konsep ini sekarang terbuka terhadap interpretasi yang berkenaan dengan keadaan setiap negara. Lima bentuk multikulturalisme dari Parekh membuat hal ini lebih mudah dan nyaman (lihat Parekh, 1997).
Multikulturalisme sebagai doktrin atau peraturan seharusnya diubah ke dalam tindakan yang sistematik dan konsisten untuk melibatkan semua orang dari masyarakat atau negara. Perspektif yang berbeda telah ditawarkan untuk membuat kesan dari pemikiran multikulturalisme dalam pikiran setiap orang dengan perbedaan kebudayaan yang sangat beragam. Dan lagi bahwa persoalan kebudayaan memunculkan pertanyaan bahwa sebuah penggerak yang meregulasikan perbedaan itu haruslah ada. Pendidikan multikultural dapat dilihat sebagai dimensi penerapan dari multikulturalisme. Pendidikan multikultural merupakan serangkaian konsep, petunjuk perilaku, dan wilayah mana yang mungkin secara resmi dapat dirumuskan melalui kurikulum, regulasi, metode pengajaran-pembelajaran, kompetensi para guru, dan hubungan sekolah dengan masyarakat dalam hal multikultural. Perubahan kebudayaan nampaknya akan dimulai dari sekolahan.
Pendidikan monokultural secara sederhana bukanlah pendidikan yang dapat diterima di era demokrasi. Jika tujuan suatu pendidikan adalah untuk membangun kapasitas manusia yang berharga seperti keingintahuan secara intelektual, pribadi yang kritis, kemampuan untuk memberikan pendapat dan bukti dan membentuk penyesuaian independen, untuk mempercepat perilaku seperti intelektual dan kerendahan hati manusia, hormat kepada yang lain dan peka akan cara pemikiran dan kehidupan yang berbeda-beda, dan membuka pemikiran siswa pada pencapaian yang besar pada makhluk hidup, sistem pendidikan seharusnya bebas dari Eurosentris dan jenis Etnosentris yang lain merupakan kemungkinan yang manusiawi (Parekh, 2002). Sebuah pendidikan multikultural seharusnya mengarahkan siswa pada konsepsi yang berbeda akan kehidupan yang baik, sistem keyakinan atau cara mengkonseptualisasikan pengalaman yang biasa dan meminta mereka untuk masuk ke dalam ruh/semangat kebudayaan yang lain, melihat dunia dengan cara mereka melakukan dan mengapresiasi kekuatan dan keterbatasan mereka.
Ketika semangat para kontributor untuk membahas konsep multikultural yang “tidak biasa” dan kemungkinan penerapan dan solusinya bagi negara-negara Asia Tenggara sangatlah tinggi, mereka juga menemuai secarik persoalan problematic ketika melangkah pada wacana tersebut. Berikut merupakan ringkasan persoalan tersebut:
Kenyataan akan perbedaan kebudayaan dan politik di Asia Tenggara merupakan tantangan untuk penerapan konsepsi multikulturalisme. Hal ini bahkan lebih rumit ketika kita mendapati sejarah sosial dan kebudayaan setiap negara.
Universalisme dan relativisme kebudayaan, multikulturalisme formal dan multikulturalisme dari dasar. Perbedaan dalam kebudayaan di negara-negara Asia Tenggara mensyaratkan adanya pembahasan teoritikal dan praktikal.
Interpretasi yang fleksibel akan konsep multikulturalisme seharusnya mengakomodasikan negara-negara non-Barat, dalam hal ini adalah negara-neagra Asia Tenggara.
Interaksi intercultural, intesif atau tidak langsung, melibatkan media dan manajemen interaksi. Dan setiap negara mempunyai pengalaman yang berbeda berkenaan dengan hal ini.
Kerangka negara dalam mengelola perbedaan ini akan melibatkan kepentingan politik dan poitik identitas.
Pendidikan multikultural sebagai sebuah segi dalam multikulturalisme: politik merakyak, kondisi lokal, dan kebutuhan akan multikulturalisme dari pada proses jangka panjang.
Pendidikan multikultural menghargai perbedaan, mengembangkan konsep kebudayaan yang berubah-ubah, dan mengubah kurikulum. Multikulturalisme instan dan jangka pendek tidaklah mungkin karena konsep itu sendiri seharusnya diperjuangkan dan diperjuangkan kembali dalam dunia pendidikan yang dinamis.
Memperbaiki kurikulum dengan muatan kurikulum lokal dengan pengalaman lokal pula. Keseimbangan antara konteks dan konsep kurikulum diperlukan adanya.
Otoritas dan birokrasi yang efisien yang mana multikulturalisme dan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan aspirasi perlu untuk diakomodasikan.
Yang terakhir, persoalan pada siapa yang mempunyai otoritas untuk membangun dan membangun kembali sesuatu.
Kenyataan perbedaan dalam kebudayaan dan politik di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, merupakan hal pokok meski seringkali berupa persoalan yang saling berseberangan pada sebagian banyak essai dalam buku ini. Pada satu sisi, perbedaan merupakan sebuah konsep yang dihargai dengan tinggi dalam multikulturalisme hal ini berangkat dari sisi faktual konsep ini yakni multikultur. Kata ini mendapatkan imbuhan “isme”, menurut Bikhu Parekh (1997) imbuhan ini membuat sebuah doktrin atau ideologi. Akan tetapi pada sisi yang lain, perbedaan secara implisit dapat menimbulkan kemungkinan negatif dari konflik dan kekerasan karena sifat pluralistik dan kepentingannya. Selanjutnya C.W. Watson (2000:107) mengatakan bahwa multikulturalisme tidaklah sesederhana bentuk kata benda dari kata multikultur. Ini menuntut perhatian kita keluar dari aspek-aspek perbedaan yang dapat dilihat dengan jelas, ke implikasi filosokal dan politikal yang lebih dalam dari kebersamaan dengan orientasi yang berbeda dalam peperangan dengan dunia, dan cara yang mana perbedaan-perbedaan tersebut mendesak pengakuan akan batas-batas nasional dan global, seringkali pada hubungan harmonis dengan keluarga yang lain, bahkan dalam kehidupan nyata sekalipun.
Cara lain dalam memandang penggunaan kedua istilah tersebut tidaklah terfokus pada wilayah semantiknya akan tetapi pada catatan bagaimana “multikultural” dapat dihubungkan ke dalam sebuah perspektif yang terdapat orang-orang pada titik pusatnya. Kita seharusnya memberi catatan pada hal ini bahwa istilah “kosmopilitan” yang sudah direvitalisasi seperti yang telah dijelaskan oleh Ulf Hannerz (1990) secara berarti menggantikannya, dimana kata “multikulturalisme” memaksa kita untuk berpikir melalui dimensi perbedaan sosial dan kolektif. Dikhotomi ini mempunyai sebuah keterkaitan yang spesial untuk pembahasan yang mensirkulasikan demokrasi liberal Barat yang mana pemerintahan dimulai dari dalil-dalil yang tujuan masing-masing negara bagian harus membatasi halangan untuk tindakan seseorang sekecil mungkin, tujuan akhir dari pembangunan manusia harus merupakan maksimalisasi dari potensi masing-masing orang. Dalam hal ini hukum, susunan dan institusi dari masing-masing negara bagian seharusnya dirancang semata-mata untuk meningkatkan kesempatan kemerdekaan individu (Kymlicka, 1995). Meskipun, kebanyakan dari negara Asia Tenggara tidak dalam keadaan seperti yang ada di tradisi Barat. Setiap negara mempunyai sejarahnya sendiri, kultur sosio, kultur tradisi, dan kultur politik.
Meskipun semua kontribusi dalam buku ini semua setuju bahwa konsep multikulturalisme berasal dari pemikiran orang Barat, mereka semua mencoba untuk mendapatkan pemahaman yang cukup mengenai konsep ini. Mereka menyadari bahwa konsep ini cenderung baru akan tetapi menguntungka ketika membuat sebuah pencapaian yang signifikan bahwa perbedaan kebudayaan merupakan ciri-ciri pad semua negara sehingga multikultur dan multikulturalisme merupakan konsep yang relevan dengan kebutuhan mereka. Sama halnya ketika berjalan dalam kegelapan, mereka telah mencoba untuk melangkah ke konsep dan wacana yang tidak biasa, apakah konsep tersebut dapat diterapkan di negara mereka ataukah tidak, atau haruskan ini dimodifikasi atau disesuaikan sedemikian rupa sehingga membuat konsep dan wacana ini sesuai dengan kondisi spesifik masing-masing negara. Bagaimanapun, multikultutalisme merupakan kecenderungan yang baru yang mereka semua setuju untuk secara sungguh menerapkan demi negara mereka. Ketika modifikasi dan penyesuaian merupakan proses yang logis melalui yang mana multikulturalisme secara bertahap diakui relavansi dan kepentingannya, konsep ini sekarang terbuka terhadap interpretasi yang berkenaan dengan keadaan setiap negara. Lima bentuk multikulturalisme dari Parekh membuat hal ini lebih mudah dan nyaman (lihat Parekh, 1997).
Multikulturalisme sebagai doktrin atau peraturan seharusnya diubah ke dalam tindakan yang sistematik dan konsisten untuk melibatkan semua orang dari masyarakat atau negara. Perspektif yang berbeda telah ditawarkan untuk membuat kesan dari pemikiran multikulturalisme dalam pikiran setiap orang dengan perbedaan kebudayaan yang sangat beragam. Dan lagi bahwa persoalan kebudayaan memunculkan pertanyaan bahwa sebuah penggerak yang meregulasikan perbedaan itu haruslah ada. Pendidikan multikultural dapat dilihat sebagai dimensi penerapan dari multikulturalisme. Pendidikan multikultural merupakan serangkaian konsep, petunjuk perilaku, dan wilayah mana yang mungkin secara resmi dapat dirumuskan melalui kurikulum, regulasi, metode pengajaran-pembelajaran, kompetensi para guru, dan hubungan sekolah dengan masyarakat dalam hal multikultural. Perubahan kebudayaan nampaknya akan dimulai dari sekolahan.
Pendidikan monokultural secara sederhana bukanlah pendidikan yang dapat diterima di era demokrasi. Jika tujuan suatu pendidikan adalah untuk membangun kapasitas manusia yang berharga seperti keingintahuan secara intelektual, pribadi yang kritis, kemampuan untuk memberikan pendapat dan bukti dan membentuk penyesuaian independen, untuk mempercepat perilaku seperti intelektual dan kerendahan hati manusia, hormat kepada yang lain dan peka akan cara pemikiran dan kehidupan yang berbeda-beda, dan membuka pemikiran siswa pada pencapaian yang besar pada makhluk hidup, sistem pendidikan seharusnya bebas dari Eurosentris dan jenis Etnosentris yang lain merupakan kemungkinan yang manusiawi (Parekh, 2002). Sebuah pendidikan multikultural seharusnya mengarahkan siswa pada konsepsi yang berbeda akan kehidupan yang baik, sistem keyakinan atau cara mengkonseptualisasikan pengalaman yang biasa dan meminta mereka untuk masuk ke dalam ruh/semangat kebudayaan yang lain, melihat dunia dengan cara mereka melakukan dan mengapresiasi kekuatan dan keterbatasan mereka.
Ketika semangat para kontributor untuk membahas konsep multikultural yang “tidak biasa” dan kemungkinan penerapan dan solusinya bagi negara-negara Asia Tenggara sangatlah tinggi, mereka juga menemuai secarik persoalan problematic ketika melangkah pada wacana tersebut. Berikut merupakan ringkasan persoalan tersebut:
Kenyataan akan perbedaan kebudayaan dan politik di Asia Tenggara merupakan tantangan untuk penerapan konsepsi multikulturalisme. Hal ini bahkan lebih rumit ketika kita mendapati sejarah sosial dan kebudayaan setiap negara.
Universalisme dan relativisme kebudayaan, multikulturalisme formal dan multikulturalisme dari dasar. Perbedaan dalam kebudayaan di negara-negara Asia Tenggara mensyaratkan adanya pembahasan teoritikal dan praktikal.
Interpretasi yang fleksibel akan konsep multikulturalisme seharusnya mengakomodasikan negara-negara non-Barat, dalam hal ini adalah negara-neagra Asia Tenggara.
Interaksi intercultural, intesif atau tidak langsung, melibatkan media dan manajemen interaksi. Dan setiap negara mempunyai pengalaman yang berbeda berkenaan dengan hal ini.
Kerangka negara dalam mengelola perbedaan ini akan melibatkan kepentingan politik dan poitik identitas.
Pendidikan multikultural sebagai sebuah segi dalam multikulturalisme: politik merakyak, kondisi lokal, dan kebutuhan akan multikulturalisme dari pada proses jangka panjang.
Pendidikan multikultural menghargai perbedaan, mengembangkan konsep kebudayaan yang berubah-ubah, dan mengubah kurikulum. Multikulturalisme instan dan jangka pendek tidaklah mungkin karena konsep itu sendiri seharusnya diperjuangkan dan diperjuangkan kembali dalam dunia pendidikan yang dinamis.
Memperbaiki kurikulum dengan muatan kurikulum lokal dengan pengalaman lokal pula. Keseimbangan antara konteks dan konsep kurikulum diperlukan adanya.
Otoritas dan birokrasi yang efisien yang mana multikulturalisme dan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan aspirasi perlu untuk diakomodasikan.
Yang terakhir, persoalan pada siapa yang mempunyai otoritas untuk membangun dan membangun kembali sesuatu.